Sejarah fragrans atau wewangian sebenarnya sudah dimulai sejak berabad-abad lalu. Cleopatra adalah salah satu pelaku sejarah penggemar wewangian. Sejak zaman sebelum Masehi pun sudah dikenal kemenyan yang kala itu diekstrak dari tetumbuhan.
Bangsa Mesir kuno memakai wewangian dalam acara ritual penguburan, selain sebagai simbol status sosial bagi si pemakai. Orang Yunani percaya, wewangian mampu jadi media kontak dengan dewa-dewi mereka. Orang Romawi memikat lawan jenisnya lewat wewangian. Namun menyusul runtuhnya Kekaisaran Romawi pada abad pertengahan, fragrans dipakai untuk menutupi bau busuk penyakit.
Eropa mengenal fragrans justru dari orang-orang Timur, misalnya Arab. Dari mereka orang Eropa belajar cara menyuling minyak-minyak esensial menjadi wewangian. Venesia adalah kota pertama di Eropa yang mengawali perdagangan wewangian hingga menyebar ke kota-kota lain di Eropa.
Selama abad XIV fragrans lebih untuk keperluan pengobatan. Yang menarik, sepanjang dua abad setelah itu sejarah mencatat peningkatan pemakaian wewangian. Pasalnya, banyak orang kala itu percaya, mandi atau berendam di air tidak sehat. Pori-pori yang terbuka akan memudahkan penyakit masuk dan menginfeksi tubuh! Maka, banyak orang lama tak mandi. Untuk menutupi bau badan, dipakailah minyak wangi.
Baru setelah abad XVI fragrans mengawali zaman keemasannya. Kala itu banyak orang belajar sekaligus mengagumi 'khasiat' fragrans sebagai pengharum, terutama sebagai parfum. Namun, hanya kalangan bangsawan dan kaum jetset yang sanggup membelinya. Harganya memang mahal karena faktor sulitnya menemukan oplosan yang tepat serta pembuatannya yang makan waktu lama.
Bahannya waktu itu terbanyak didapat dari tumbuhan atau hewan. Cara pembuatannya dianggap seni dengan cita rasa tinggi. Hingga kini pun persepsi itu masih berlaku, terutama untuk parfum kelas atas yang dibikin dalam jumlah terbatas atau menurut pesanan.
Sudah sejak akhir abad XVIII Prancis dikenal sebagai pusat parfum dunia. Juga untuk pertama kalinya fragrans dari bahan sintetis diperkenalkan. Contohnya parfum bermerek Chanel No. 5 buatan Prancis tahun 1921.
Sementara itu reputasi fragrans semakin menanjak. Tidak hanya sebagai bahan utama pembuatan parfum, namun juga untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Umpamanya, produk-produk perawatan tubuh seperti sabun dan sampo, industri perlengkapan rumah tangga seperti pembersih lantai, industri makanan dan minuman seperti permen atau sirup, produk bahan bangunan seperti cat tembok, lilin, juga rokok, alat tulis seperti bolpoin, kertas, karet penghapus, spidol, krayon dan banyak lagi.
Yang Alami Dan Sintetis
Fragrans itu 'biang' segala wewangian. Semua yang berbau harum berasal dari fragrans. Menurut Food and Drug Administration (FDA) Amerika, fragrans berarti semua substansi baik alami maupun sintetis yang semata-mata digunakan untuk memberi bau pada produk-produk kosmetik. Jadi produk kosmetik tak terbatas parfum, tapi juga meliputi sabun, shampo, dll.
Karena pengertian itu banyak kelemahannya, terbukalah peluang bagi para produsen kosmetik khususnya serta produk-produk lain. Fragrans pun digunakan dalam bahan-bahan pembersih rumah tangga seperti deterjen atau larutan pembersih peralatan dapur dan makan, yang sayangnya, bakal membawa masalah kesehatan maupun lingkungan.
Bahan dasarnya amat banyak. Bisa dari alam atau bikinan manusia (sintetis). Sumber alam kebanyakan dari tumbuh-tumbuhan atau hewan. Setelah lewat proses cukup rumit seperti distilasi dan ekstraksi, baru dihasilkan fragrans dalam bentuk konsentrat pekat. Sedangkan yang sintetis bahannya dari berbagai macam zat kimia yang sudah jadi. Sesudah melewati reaksi-reaksi kimiawi di laboratorium, dihasilkan konsentrat seperti yang alami tadi, namun dengan rumus kimia baru.
Meski yang sintetis dan alami tak banyak bedanya, harga fragrans sintetis jauh lebih murah, lebih mudah didapat, dan daya tahan baunya lebih lama. Karena itu hampir 80% produsen fragrans menggunakan bahan sintetis. Namun, yang natural tidak ditinggalkan 100%, karena ada bau-bauan tertentu yang tidak bisa dihasilkan melulu secara sintetis.
Ada fragrans yang diperdagangkan hanya dalam bentuk bahan 'mentah'. Pengusaha lain lalu membelinya untuk membuat parfum, cologne, eau de toilette, after shave lotion atau produk kosmetik lain. Ada juga yang menambahkannya dalam sabun, sampo, pengharum ruangan, deterjen, cairan pembersih lantai, dsb.
Agar mudah dihirup, biasanya produsen menambahkan solvent atau zat pelarut yang mudah menguap. Yang paling banyak dipakai dari golongan hidrokarbon. Contohnya pada parfum, hair spray, deodoran, penghapus cat kuku, cairan pembersih rumah tangga, juga bolpoin wangi yang memabukkan itu. Hanya pada kasus ini konsentrasi fragrans lebih rendah dibandingkan dengan pelarutnya.
Gangguan Kulit Dan Saraf
Sepintas, regulasi internal mereka berjalan efektif, meski hanya berdasarkan tanggung jawab moral dan tidak melibatkan kekuatan hukum. Sayang, kenyataannya tidak begitu! Walaupun dalam tubuh RIFM (The Research Institute for Fragrance Materials) ada tim terpadu yang melibatkan berbagai ahli independen, seleksi bahan yang diuji bukan mereka yang menentukan. Sementara bagian yang menentukan itu tidak punya sistem solid untuk menentukan bahan mana yang seharusnya diuji karena berpotensi menimbulkan masalah.
Kelemahan berikutnya adalah cara pengujian, yang sebagian besar difokuskan pada paparan dan akibat yang timbul pada kulit. Paparan lewat saluran pernapasan atau saluran cerna biasanya tidak dilakukan. Padahal masalah kesehatan juga bisa muncul lewat kedua jalur itu dan efeknya lebih sistemis dan kronis.
Salah satu laporan RIFM menyebut kerugian material akibat gangguan kesehatan gara-gara fragrans cukup besar. Padahal itu berkaitan dengan fragrans yang sudah lolos dari RIFM. Sekitar 35 juta orang AS menderita rhinitis alergik, dan penanganannya menelan biaya AS $ 8 miliar/tahun. Sekitar 1.000 pekerja harus absen kerja karena menderita migren, dan akibatnya AS $ 5 miliar melayang. Asma dan penyakit paru-paru kronis meningkat dua kali lipat dalam 20 tahun terakhir.
Banyak penelitian menunjukkan, fragrans memiliki dampak buruk terhadap kesehatan. Studi mendalam oleh U.S. Environmental Protection Agency (EPA) pada 1991 menunjukkan, aseton yang biasa digunakan dalam deterjen, cologne dan terutama zat penghilang cat kuku bisa menimbulkan gejala mual, pusing dan mampu menekan fungsi susunan saraf pusat, termasuk otak dan saraf tulang belakang.
Parfum Dianggap Polutan
Yang paling dikhawatirkan para pakar lingkungan justru dampak polutan fragrans, di samping pencemaran lingkungan langsung akibat tidak memadainya pengolahan limbah industri. Selain belum ada peraturannya, juga belum bisa didaur ulang dan terus-menerus bersirkulasi dalam air (polusi akuatik). Dalam kasus parfum, setelah menguap fragrans bereaksi dengan substansi lain di udara. Reaksi ini menghasilkan substansi baru yang dapat larut dalam air.
Di Amerika Serikat sekarang sedang marak isu kampanye anti parfum karena bau harum sudah dianggap 'polutan'. Tak semua orang tahan terhadap bau parfum tertentu, dan terkadang berakibat munculnya gangguan kesehatan. Celakanya, kita tidak bisa meminta orang untuk menghilangkan wewangian yang sudah telanjur teroles di tubuhnya seperti halnya meminta orang untuk mematikan misalnya pada rokok.
Sadar akan risiko munculnya berbagai gangguan kesehatan, konsumen menjadi makin berhati-hati dalam memakai produk berfragrans. Produsen pun tak kurang akal. Telah banyak beredar di pasaran produk berlabel 'hypoallergenic', 'for sensitive skin', sampai 'dermatologist tested', 'dermatologist recommended', bahkan 'fragrance free'.
Itu sah-sah saja. Sebab, dalam rumusan FDA fragrans adalah materi yang dicampurkan semata-mata untuk menghasilkan bau-bauan. Padahal fragrans bisa berfungsi ganda. Selain sebagai penyebar bau harum, juga dapat sebagai bahan pengawet. Jadi, meskipun produsen mengklaim produknya 'bebas fragrans', sesungguhnya masih terkandung fragrans dalam 'topeng' lain.
Jangankan konsumen awam, dokter kulit atau ahli fragrans sekalipun tidak tahu apa saja yang tersembunyi dalam produk berfragrans kendati sudah dicantumkan seluruh kandungan pada labelnya, misalnya. Kecuali memakai alat canggih seperti gas chromatography-mass spectrometric analysis yang amat mahal itu.
Bisa dibayangkan rumitnya dunia bisnis fragrans ini. Di negara-negara maju dengan peraturan-peraturan dan hukum yang sudah kukuh, bisnis fragrans belum dapat benar-benar dijamah. Bagaimana pula di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia?
Sumber: University of Giessen, Jerman
Konon, dunia kedokteran masih jua belum bisa menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh kelainan gen (keturunan), seperti leukemia? Ternyata tidak. Bila mencermati kepustakaan yang ada, bahkan sejak 1988 kalangan ahli telah berhasil menemukan metode pengobatan yang dinilai sangat efektif, yakni dengan memanfaatkan sel induk (sel inti) yang banyak terdapat pada darah di tali pusar (tali pusat).
Harus diakui, dalam perkembangannya sampai saat ini, metode pengobatan tersebut kurang populer. Soalnya, agar pengobatan bisa berhasil secara maksimal, seyogyanya menggunakan sel induk yang berasal dari tali pusar si penderita. Ternyata itu juga bukan perkara mudah. Nyaris tiada seorang pun di jagat ini yang memiliki kebiasaan menyimpan tali pusarnya-apalagi dalam keadaan masih segar. Maklum, lazimnya, para orang tua akan "membuang" tali pusar anaknya, beberapa saat setelah sang jabang bayi dilahirkan.
Pasrah? Jangan dulu. Ada tawaran menarik yang dilayangkan sejumlah "bank" sebagai solusi. Tentunya, bukan bank kebanyakan untuk menabung fulus, melainkan Cord Blood Bank (Bank Darah Tali Pusar) yang secara teknis mampu menyimpan sel induk secara aman. Nah, terutama bagi ibu-ibu yang melahirkan anaknya di era milenium, bisa memanfaatkan jasa yang ditawarkan oleh CordLife, yakni Cord Blood Bank yang ada di Singapura. Sejak dioperasikan pada 2001, hingga sekarang bank ini telah menyimpan sekitar 1.000 sampel.
Untuk setiap peminat, tentu ada biayanya. Di tahun pertama, mereka harus merogoh kocek sebesar Sin$ 2.000 (sekitar Rp 12,6 juta). Setelah itu, akan dikenakan biaya sewa setiap tahun sebesar Sin$ 250 (sekitar Rp 1,2 juta). Jasa yang ditawarkan CordLife berdasarkan kontrak yang berlaku selama 21 tahun. Setelah itu, bisa diperpanjang lagi.
Tak terkecuali bagi kalangan peminat yang ada di negeri ini. Sejak Juli lalu, bekerja sama dengan Kalbe Farma, CordLife membuka layanan serupa di kawasan Pulomas, Jakarta. Usaha kemitraan ini berkibar dengan bendera PT CordLife Indonesia. "Kehadiran kami di sini untuk makin mempermudah pelayanan bagi masyarakat Indonesia," kata Wirya Tantra, General Manager PT CordLife Indonesia.
Menariknya, dibandingkan dengan yang di Singapura, tarif jasa yang di Jakarta relatif lebih murah. Biaya untuk tahun pertama "hanya" Rp 9,5 juta, dan untuk biaya tahunan dipatok Rp 1,5 juta. Bank yang dibangun dengan dana investasi, konon, mencapai lebih dari Rp 162 miliar ini dirancang bisa menampung sebanyak 30 ribu kantong darah tali pusat. "Sampai saat ini sudah ada 100 sampel yang disimpan di sini," ujar Wirya.
Melihat antusiasme kalangan peminat yang tergolong tinggi, tampaknya berusaha di sektor ini cukup menjanjikan. Ditambah lagi potensi pasarnya yang sangat besar. Lihat saja angka kelahiran, dari rata-rata 1.000 penduduk di negeri ini, hampir dipastikan sekitar 22 di antaranya adalah bayi-bayi yang baru lahir. Sementara di Singapura, dengan rasio yang sama, angka kelahirannya hanya sekitar 16 per mil.
Lebih dari itu, tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, trennya pun dirasakan makin tinggi. Banyak hal memang yang memicunya. Selain tingkat pendidikan dan daya beli, meningkatnya kesadaran masyarakat itu, boleh jadi pula, dipicu oleh kekhawatiran mewabahnya berbagai penyakit baru. Untuk soal yang terakhir ini, lihat saja catatan yang ada di CordLife International sampai tahun ini. Paling tidak, sudah ditemukan sekitar 80 jenis penyakit baru, yang ironisnya, sebagian besar belum ada obat penawarnya. Nah, dengan metode pengobatan yang memanfaatkan sel induk ini, diharapkan bisa meredam kekhawatiran itu.
Bisa Dimanfaatkan Oleh Saudara Sekandung
Selain diperoleh dari darah di tali pusar, sel induk juga bisa didapat dari sumsum tulang belakang. Cara yang terakhir ini memiliki resiko tinggi. Lagi pula, proses pengambilannya cenderung menyakiti si penderita. Sementara, proses pengambilan sel induk dari tali pusat, jauh lebih aman. Lazimnya dilakukan setelah bayi lahir. Tim dokter-tentunya dengan peralatan khusus- akan segera mengambil darah (sekitar 22 cc) yang ada di tali pusat, kemudian disimpan dalam kantong yang steril. Di dalam darah itu, bisa didapat sekitar 800 juta sel induk.
Proses berikutnya adalah memeriksa kondisi darah tersebut di laboratorium. Bila sudah tercemar oleh bibit penyakit (seperti hepatitis atau AIDS), niscaya darah ini tidak bisa disimpan. Sebaliknya, bila kondisinya teruji steril, dengan teknologi tertentu, tim ahli akan memisahkan sel darah dan plasma darah, sehingga yang tersisa tinggal cairan yang mengandung sel inti.
Seluruh proses tersebut berlangsung selama 48 jam, hingga cairan sel induk disimpan di ruang pengawetan yang bersuhu minus 196 derajat celsius. Selama di tempat penyimpanan, pemantauan secara periodik akan dilakukan untuk mengetahui perkembangan kondisi sel induk.
Memanfaatkan jasa Cord Blood Bank, bisa dibilang, hampir serupa dengan program asuransi kesehatan. Artinya, sewaktu-waktu bila dibutuhkan, khasiatnya bisa segera dimanfaatkan. Berdasarkan pengalaman selama ini, metode pengobatan yang memanfaatkan sel induk mampu menyembuhkan sekitar 88 jenis penyakit, seperti kanker, kerusakan pada sumsum tulang belakang, kelainan pada darah, dan penyakit yang berhubungan dengan kelainan metabolisme tubuh. Berikutnya, metode ini tengah diuji keampuhannya untuk melawan penyakit stroke, liver, diabetes, jantung dan cedera pada tulang belakang.
Hebatnya lagi, metode pengobatan ini tidak hanya manjur untuk mengobati penyakit yang diderita oleh pemiliknya, juga bisa dimanfaatkan untuk menyembuhkan penyakit yang diidap oleh saudara kandung dan kedua orang tua. Tingkat efektivitasnya pun lumayan tinggi. Bila digunakan oleh saudara kandung, misalnya, rasionya bisa mencapai 75%. Sementara rasio bagi kedua orang tua mencapai 50%. Tentunya, tingkat efektivitas itu bisa dicapai bila sel induk yang ditransplantasikan memiliki kecocokan golongan darah dan struktur gen.
Sejatinya, metode pengobatan ini dilakukan dengan cara mentransplantasikan sel induk ke organ yang rusak. Sesuai sifatnya, sel induk akan berkembang membentuk sel baru. Seyogianya, transplantasi itu disesuaikan dengan berat badan si penderita, idealnya setiap kilogram berat badan dibutuhkan sekitar 15 juta-20 juta sel induk. Contohnya, penderita yang berbobot 30 kilogram, sepatutnya ditransplantasikan sel induk sebanyak 450 juta sel.
Persoalannya sekarang, jika kerap digunakan, niscaya akan mengurangi, bahkan menghabiskan deposit sel induk yang ada di Cord Blood Bank. Toh, yang tersimpan di sana volumenya sangat terbatas. Kendati begitu, kita tak perlu cemas. Dengan teknologi kedokteran mutakhir, ternyata populasi sel induk yang ada di bank bisa ditingkatkan lebih banyak lagi. Aman kan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar